Istilah Tunangan di Dalam Islam

Opini- (27/03/2022) Pertunangan
merupakan salah satu proses perkawinan yang biasa dilakukan masyarakat. Di
antara proses perkawinan itu ialah pihak laki-laki meminang pihak perempuan
atau sebaliknya agar pihak perempuan atau pihak laki-laki bersedia menjadi
isteri atau suaminya. Seandainya pinangan itu diterima, langsung dilaksanakan
akad nikah. Proses lain melalui pertunangan, pihak laki-laki meminang pihak
perempuan atau sebaliknya agar pihak perempuan atau pihak laki-laki bersedia
menjadi isteri atau suaminya. Seandainya pinangan itu diterima, akad nikah
tidak langsung diadakan, tetapi diadakan beberapa waktu setelah itu, mungkin
diadakan dalam waktu yang tidak lama, seperti sebulan, dua bulan dan seterusnya
atau dalam waktu yang lama, seperti setahun, dua tahun dan seterusnya. Masa
yang terletak antara penerimaan pinangan dan masa pelaksanaan akad nikah
disebut masa pertunangan. Dengan kata lain antara pihak laki-laki dan pihak
perempuan telah terjadi pertunangan sebelum dilaksanakan akad nikah.
Belum ditemukan nash-nash baik berupa nash al-Qur’an
maupun berupa nash al-Hadits yang secara tegas membolehkan atau melarang
lembaga pertunangan itu. Karena itu masalah pertunangan merupakan masalah
ijtihadiyah. Untuk membahas masalah pertunangan ada tiga macam cara pendekatan
yang dapat dilakukan. Pertama ialah dengan memahami sesuatu yang tersirat pada
suatu hadits, kedua dengan memasukkan akad pertunangan ke dalam masalah akad
pada umumnya dan ketiga ialah dengan menggunakan kaidah fiqh.
Baca Lainnya :
- Nikmatnya Hijrah Karena Allah0
- Hikmah Toleransi Antar Sesama 0
- Kurangi Minum Teh Setelah Makan Makanan Berat, Ini Akibatnya!0
- Beda Pengucapan Beda Makna0
- Kisah Anjing Penjaga Pemuda Ashabul Kahfi0
Pertama dengan memahami isyarat atau yang tersirat dalam
sebuah hadits Nabi saw bahwa: “Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata :
bersabda Rasulullah saw : ‘Jangan salah seorang kamu meminang pinangan
saudaranya, sehingga peminang sebelumnya (saudaranya itu) mengurungkan
peminangannya atau membolehkannya (untuk dipinang).” HR. Bukhari dan
Muslim dan lafadz Bukhari.
Hadits di atas membolehkan seorang laki-laki meminang
pihak seorang perempuan. Dari hadits di atas juga dapat dipahami terjadinya
beberapa kemungkinan penafsiran dalam proses pinang meminang. Kemungkinan
pertama ialah pinangan itu tidak diterima oleh pihak yang dipinang, sehingga
berakhirlah proses pinangan itu. Kemungkinan kedua ialah pinangan itu diterima,
kemudian langsung dilaksanakan akad nikah. Kemungkinan ketiga ialah pinangan
itu diterima, tetapi akad dilaksanakan kemudian hari, mungkin dalam waktu yang
dekat dan mungkin pula dalam waktu yang lama. Kemungkinan ketiga ini ada
persamaannya dengan pelaksanaan pertunangan yang berlaku pada hukum adat, yaitu
semacam perjanjian untuk melaksanakan akad nikah di kemudian hari setelah
pinangan diterima. Terjadinya kemungkinan ketiga ini dimungkinkan dalam
memahami hadits di atas. Dengan arti bahwa hadits di atas dapat dijadikan satu
dalil dalam menetapkan hukum pertunangan.
Dalil kedua ialah dengan memasukkan akad pertunangan ke
dalam masalah akad pada umumnya. Jika akad pada umumnya dibolehkan oleh syara’,
tentu akad pertunangan juga dibolehkan. Firman Allah SWT yang artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu, …” (QS.
Al-Maidah : 1) Agar ada kepastian hukum sebaiknya akad pertunangan itu
dilengkapi dengan alat-alat bukti, seperti bukti-bukti otentik, saksi-saksi dan
sebagainya.
Dalil ketiga ialah dengan menggunakan kaedah fiqh: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.Pertunangan menjadi masalah jika terjadi pemutusan pertunangan dan telah terjadi saling memberi yang dilakukan pihak laki-laki atau pihak perempuan kepada pihak yang lain, sedang alat-alat bukti tidak ada. Seandainya dibuat alat-alat bukti pada saat diadakan perjanjian pertunangan maka persoalan yang terjadi pada waktu putusnya pertunangan dapat diselesaikan dengan merujuk kepada alat-alat bukti tersebut
