Istilah Tunangan di Dalam Islam

27 Mar 2022, 10:43:40 WIB Syiar
Istilah Tunangan di Dalam Islam

Opini- (27/03/2022)  Pertunangan merupakan salah satu proses perkawinan yang biasa dilakukan masyarakat. Di antara proses perkawinan itu ialah pihak laki-laki meminang pihak perempuan atau sebaliknya agar pihak perempuan atau pihak laki-laki bersedia menjadi isteri atau suaminya. Seandainya pinangan itu diterima, langsung dilaksanakan akad nikah. Proses lain melalui pertunangan, pihak laki-laki meminang pihak perempuan atau sebaliknya agar pihak perempuan atau pihak laki-laki bersedia menjadi isteri atau suaminya. Seandainya pinangan itu diterima, akad nikah tidak langsung diadakan, tetapi diadakan beberapa waktu setelah itu, mungkin diadakan dalam waktu yang tidak lama, seperti sebulan, dua bulan dan seterusnya atau dalam waktu yang lama, seperti setahun, dua tahun dan seterusnya. Masa yang terletak antara penerimaan pinangan dan masa pelaksanaan akad nikah disebut masa pertunangan. Dengan kata lain antara pihak laki-laki dan pihak perempuan telah terjadi pertunangan sebelum dilaksanakan akad nikah.

 

Belum ditemukan nash-nash baik berupa nash al-Qur’an maupun berupa nash al-Hadits yang secara tegas membolehkan atau melarang lembaga pertunangan itu. Karena itu masalah pertunangan merupakan masalah ijtihadiyah. Untuk membahas masalah pertunangan ada tiga macam cara pendekatan yang dapat dilakukan. Pertama ialah dengan memahami sesuatu yang tersirat pada suatu hadits, kedua dengan memasukkan akad pertunangan ke dalam masalah akad pada umumnya dan ketiga ialah dengan menggunakan kaidah fiqh.

Baca Lainnya :

 

Pertama dengan memahami isyarat atau yang tersirat dalam sebuah hadits Nabi saw bahwa:  “Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata : bersabda Rasulullah saw : ‘Jangan salah seorang kamu meminang pinangan saudaranya, sehingga peminang sebelumnya (saudaranya itu) mengurungkan peminangannya atau membolehkannya (untuk dipinang).” HR. Bukhari dan Muslim dan lafadz Bukhari.

 

Hadits di atas membolehkan seorang laki-laki meminang pihak seorang perempuan. Dari hadits di atas juga dapat dipahami terjadinya beberapa kemungkinan penafsiran dalam proses pinang meminang. Kemungkinan pertama ialah pinangan itu tidak diterima oleh pihak yang dipinang, sehingga berakhirlah proses pinangan itu. Kemungkinan kedua ialah pinangan itu diterima, kemudian langsung dilaksanakan akad nikah. Kemungkinan ketiga ialah pinangan itu diterima, tetapi akad dilaksanakan kemudian hari, mungkin dalam waktu yang dekat dan mungkin pula dalam waktu yang lama. Kemungkinan ketiga ini ada persamaannya dengan pelaksanaan pertunangan yang berlaku pada hukum adat, yaitu semacam perjanjian untuk melaksanakan akad nikah di kemudian hari setelah pinangan diterima. Terjadinya kemungkinan ketiga ini dimungkinkan dalam memahami hadits di atas. Dengan arti bahwa hadits di atas dapat dijadikan satu dalil dalam menetapkan hukum pertunangan.

 

Dalil kedua ialah dengan memasukkan akad pertunangan ke dalam masalah akad pada umumnya. Jika akad pada umumnya dibolehkan oleh syara’, tentu akad pertunangan juga dibolehkan. Firman Allah SWT yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu, …” (QS. Al-Maidah : 1)  Agar ada kepastian hukum sebaiknya akad pertunangan itu dilengkapi dengan alat-alat bukti, seperti bukti-bukti otentik, saksi-saksi dan sebagainya.

 

Dalil ketiga ialah dengan menggunakan kaedah fiqh: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.Pertunangan menjadi masalah jika terjadi pemutusan pertunangan dan telah terjadi saling memberi yang dilakukan pihak laki-laki atau pihak perempuan kepada pihak yang lain, sedang alat-alat bukti tidak ada. Seandainya dibuat alat-alat bukti pada saat diadakan perjanjian pertunangan maka persoalan yang terjadi pada waktu putusnya pertunangan dapat diselesaikan dengan merujuk kepada alat-alat bukti tersebut