Kesucian Jiwa

Opini (27-12-2022) Kehidupan senantiasa diwarnai dengan cobaan. Orang yang memandang
dengan mata hati yang jernih dan bimbingan cahaya al-Qur’an akan bisa
menyaksikan betapa hebat ujian dan cobaan yang datang dan pergi silih berganti.
Fitnah datang bertubi-tubi. Sehingga hal itu membuat sebagian orang terhempas
oleh ombak fitnah yang dia alami. Namun, di sisi lain ada pula orang yang tetap
tegar menghadapi terpaan gelombang fitnah ini dengan taufik dari Allah ta’ala
kepada dirinya. Inilah sunnatullah di jagad raya yang akan memisahkan barisan
hamba-hamba yang berbahagia dengan hamba-hamba yang binasa. Allah ta’ala
berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia,
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh berbahagia orang yang menyucikan jiwanya dan sungguh merugi
orang yang justru mengotorinya.” (QS. Asy Syams: 9-10)
Baca Lainnya :
- Anjuran untuk selalu Bersemangat Dalam islam0
- Amalan Jadi Debu Yang Bertebaran 0
- Rumahmu, Hijabmu0
- PENUH MINAT, CEMAS DAN TUNDUK0
- JANGAN MENERIMA TAMU LELAKI KETIKA SUAMI TIDAK DI RUMAH0
Allah lah yang telah menciptakan jiwa dengan segenap tabiat dan
perangainya. Dan Allah pula yang mengilhamkan kepadanya potensi untuk bertakwa
dan potensi untuk berbuat dosa. Maka barang siapa yang memilih ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjunjung tinggi hal
itu di atas segala-galanya maka sungguh dia telah menyucikan jiwanya dan
membersihkannya dari akhlak-akhlak yang rendah dan tercela. Dan orang yang
menyucikan jiwanya itu berarti akan merasakan kebahagiaan hakiki di dunia dan
di akhiratnya, semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan ini. Sebaliknya,
barang siapa yang justru memperturutkan kemauan hawa nafsunya tanpa mematuhi
rambu-rambu syariat yang ditetapkan oleh Allah yang Maha bijaksana, maka sesungguhnya
dia telah mengotori jiwanya. Dan jelas sudah bagi kita bahwa orang yang
mengotori jiwanya akan merasakan kerugian dan kesempitan hidup di dunia maupun
akhiratnya.
Saudaraku, perjalanan
hidup kita di dunia adalah singkat. Tidakkah kita ingat belasan atau beberapa
puluh tahun yang silam kita masih kanak-kanak. Ketika itu kita masih asyik
dengan permainan bersama teman sepergaulan. Ketika itu kita masih belum
mengenal makna syahadat dengan benar. Ketika itu kita masih belum mengenal
hakikat tauhid yang sesungguhnya. Yang kita mengerti ketika itu bahwa tauhid
adalah mengakui bahwa Allah itu esa, titik. Demikian pula kita belum mengenal
dakwah salaf dan para ulama yang telah menghabiskan umurnya, mencurahkan
pikiran dan tenaganya demi memperjuangkan dakwah yang mulia ini. Kemudian
setelah kita dewasa Allah berkenan mengaruniakan hidayah kepada kita untuk
belajar tauhid dan mengenal seluk beluknya. Dan Allah juga membukakan kepada
kita berbagai referensi ilmiah yang telah ditulis oleh para ulama dari masa ke masa.
Akankah kita sia-siakan hidayah ini dengan menenggelamkan diri dalam
kemaksiatan dan kerusakan akhlak? Akankah kita wujudkan rasa syukur ini dengan
melakukan perbuatan yang dimurkai oleh-Nya?
Saudaraku, semua manusia pasti pernah berbuat salah. Akan tetapi yang
menjadi persoalan sekarang adalah apakah kita sudah bertaubat dengan ikhlas dan
sungguh-sungguh dari setiap dosa dan kesalahan kita. Itulah pertanyaan besar
yang akan sangat sulit dijawab oleh orang yang sama sekali tidak mau
mempedulikan kondisi hatinya. Adapun orang yang mendapatkan taufik dari Allah
untuk berpikir dan merenungkan setiap aktivitas yang dia kerjakan, maka dia
akan bisa merasakan bahwa sesungguhnya menundukkan hawa nafsu dan mewujudkan
taubat yang sejati tidaklah seringan mengucapkannya dengan lisan. Terlebih lagi
pada masa seperti sekarang ini, ketika berbagai fitnah laksana gelombang lautan
yang datang menghempas silih berganti.
Oleh sebab itu,
melalui tulisan yang singkat ini ada baiknya kita sedikit mengupas kiat agar
seorang hamba bisa memiliki jiwa yang tenang alias nafsul muthma’innah,
bukan nafsu yang senantiasa menyesali diri (nafsul lawwamah) ataupun
nafsu yang selalu mengajak kepada keburukan (nafsu ammarah bi suu’).
